2.1. | METODOLOGI PERENCANAAN |
2.1.1. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN
A. PARTICIPATORY RURAL APPRAISAL ( PRA)
Metodelogi yang digunakan dalam program Pemetaan swadaya ini di PPLBK ini adalah melode pembelajaran Participatory Andragogy. Di dalam wacana penelitian partisipatif, agenda penelitian dikaitkan dengan 2 agenda lainnya yaitu proses pembelajaran dan pengembangan program aksi bersama masyarakat. Ketiganya (penelitian, pembelajaran masyarakat dan program aksi) ditujukan untuk mendorong terjadinya perubahan (transformasi) sosial sebagai suatu tanggungjawab moral karena kritik terhadap kalangan peneliti (konvensional) yang selama ini dianggap menjadikan masyarakat sebagai obyek penelitian dan sumber informasi.
Kalangan ‘pembelot’ yang menggeluti riset partisipatif/riset aksi inilah yang kemudian berkecimpung dalam pemikiran mengenai pengembangan pembangunan yang berbasis pada manusia (people-centered approach) yang akhirnya menjadi atau harus bekerja bersama para praktisi pembangunan. Di kalangan praktisi pembangunan memang muncul kalangan yang berkecimpung dalam pengembangan wacana konseptual dan metodologi pendekatan pembangunan, tetapi sebagian besar dari praktisi pembangunan adalah pengguna (aplikator) dari metodologi dan riset aksi yang digunakan dalam mengembangkan program aksi di tingkat masyarakat. Jadi, sejumlah akademisi dan praktisi telah menggeluti riset partisipatif ini dan menggunakan terminologi riset partisipatif dan disesuaikan dengan tujuan masing-masing.
Dengan mengutip pengkategorian oleh Deshler dan Sock (1985), disebutkan bahwa secara garis besar terdapat 3 tipe partisipasi, yaitu: partisipasi teknis (technical partisipation), partisipasi semu (pseudo participation), dan partisipasi politis atau partisipasi asli (genuine participation).
Partisipasi teknis dan partisipasi politis kelihatannya sepadan dengan 2 tipe partisipasi yang ditemukan dalam referensi lain, yaitu partisipasi untuk partisipasi yang digunakan dalam pengembangan program, dan partisipasi yang diperluas untuk partisipasi yang merambah ke dalam isu demokratisasi (Dalam buku: Impact Assesment for Development Agencies, Christ Roche, OXPAM-NOVIB, 1999).
Beberapa metode pendekatan dalam kegiatan partisipasi antara lain adalah:
a. Partisipasi Teknis adalah keterlibatan masyarakat dalam pengidentifikasian masalah,pengumpulan data, analisis data, dan pelaksanaan kegiatan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan praktis dalam konteks pengembangan masyarakat.
b. Partisipasi asli (Partisipasi politis), adalah keterlibatan masyarakat di dalam proses perubahan dengan melakukan refleksi kritis dan aksi yang meliputi dimensi politis, ekonomis, ilmiah, dan ideologis, secara bersamaan. Pengembangan partisipasi dalam ini adalah pengembangan kekuasaan dan kontrol lebih besar terhadap suatu situasi melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam melakukan pilihan kegiatan dan berotonomi.
c. Partisipasi Semu yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan masyarakat hanya sekedar obyek.
Dalam pengertian partisipasi di atas, bukan berarti partisipasi teknis tidak penting dibandingkan dengan partisipasi politis), bisa sekaligus ada dalam sebuah program pengembangan masyarakat dimana pemberdayaan masyarakat dalam kehidupannya secara lebih luas (kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi). Berdasarkan tingkat atau derajat kontrol partisipasinya (masyarakat), partisipasi semu (pseudo participation) dan partisipasi yang sesungguhnya (genuine participation) adalah sebagai berikut:
Partisipasi masyarakat selalu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Bersifat proaktif dan bukan reaktif, artinya masyarakat ikut menalar baru bertindak
b. Ada kesepakatan yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat
c. Ada tindakan yang mengisi kesepakatan tersebut
d. Ada pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara.
PRA merupakan singkatan dari Participatory Rural Appraisal yang secara harfiah artinya pengkajian ( keadaan ) desa (secara ) partisipatif. PRA senantiasa berkembang, sehingga menurut Robert Chambers yang mempromotori dan mengembangkannya, mungkin tidak perlu untuk memberikan definisi final. Robert Chambers mendefinisikannya sebagai: “Sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat (pedesaan) untuk turut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan”.
Pada awalnya PRA berkembang sebagai kumpulan metode atau teknik-teknik ‘penelitian’ yang dilakukan oleh masyarakat oleh masyarakat sendiri, seperti yang didefinisikan oleh Robert Chambers di atas. PRA pada awalnya berkembang sebagai suatu alternative bagi penelitian sosial yang dikritik sebagai tindakan tidak bermanfaat bagi masyrakat karena hanya menggunaklan masyarakat sebagai obyek penelitian. Kalau pada penelitian sosial, agenda penelitian adalah milik ‘orang luar’, informasi yang hasil penelitian dibawa oleh ‘orang luar’ untuk kepentingannya sendiri maupun kalangannya, maka pada PRA, agenda ‘penelitian’ dikembangkan oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh orang luar, sebagai proses refleksi kritis masyarakat tentang situasi dan persoalan yang mereka hadapi. Informasi hasilnya, digunakan oleh masyarakat untuk mengembangkan program aksi mereka. Karena proses perkembangan PRA pada walanya seperti ini, banyak kalangan menggunakan PRA hanya untuk proses pengkajian saja.
Pada perkembangan berikutnya PRA menjadi metodologi pendekatan program yang lebih dari sekedar pengkajian untuk masyarakat, melainkan sebagai sebuah kerangka kerja pengembangan program partisipatif. Pada tahun 1990-an penggunaan PRA berkembang pesat dalam upaya menemukan sebuah metodologi pendekatan yang bisa mendukung proses perencanaan yang lebih terdesentralisasi dan pengambilan keputusan secara lebih demokratis , yang memungkinkan masyarakat untuk ‘belajar bersama’, menganalisis, dan meningkatkan pengetahuannya, serta untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan mereka sendiri.
Participatory Rural Appraisal (PRA) seringkali dilekatkan dengan nama Robert Chambers, sehingga rasanya perlu dipahami peran Robert Chambers dalam pengembangan PRA. Robert Chambers adalah seorang akademisi yang gencar memperkenalkan konsep partisipasi dan PRA.
Pada bukunya yang pertama (Chambers, 1983), Chambers menyampaikan kritik terhadap penelitian sosial, khususnya metode survai, yang dianggapnya kurang atau bahkan tidak bermanfaat bagi masyarakat yang dijadikan sasaran penelitian. Biasanya seringkali terlalu lama diterbitkan sebagai laporan sehingga sudah ketinggalan, dan mahal. Pada buku pertamanya itu, Chambers memperkenalkan metode Rapid Rural Appraisal (RRA) sebagai alternative bagi para praktisi pembangunan yang memerlukan sebuah metodologi ‘penelitian’ yang bisa membantu mereka memahami masyarakat secara cepat, dengan informasi actual, dan biaya murah, serta bisa mengajak masyarakat sebagai pelaku penelitian itu sendiri.
Pada bukunya yang kedua (Chambers: 1977), Chambers menggunakan istilah Participatory Rural Appraisal (PRA) untuk menggantikan RRA. Perkembangan konsep RRA sampai PRA terutama pada pemikiran mengenai peran ‘Orang Luar’ (para ‘profesional’) bekerja di masyarakat dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan dan pembangunan. Meskipun terdapat berbagai sumber PRA, nampaknya RRA adalah sumber PRA yang paling langsung. PRA adalah metamorfosis dari RRA, sehingga PRA semula disebut dengan istilah ‘RRA partisipatif’ ( berkembang tahun 1980-an).
Robert Chambers menyatakan bahwa Participatory Action Research (PAR) atau sering disebut Kaji Tindak Partisipatif, merupakan salah satu sumber PRA. Tetapi ada pihak lain yang menganggap bahwa PRA adalah PAR yang berkembang di Negara-negara Selatan. Menurut Daniel Selener, nampaknya PRA termasuk ke dalam kelompok PAR di dalam pengembangan masyarakat. Utamanya adalah memecahkan masalah praktis yang dirumuskan, dianalisa, dan diselesaikan oleh masyarakat sendiri. Tujuan strategis yang ingin dicapai adalah melakukan perubahan (transformasi sosial). Sedangkan dalam PRA lebih ditekankan pada perubahan perilaku individu-individu yang bekerja di dalam pengembangan masyarakat, ketimbang pada perubahan sosial seperti tujuan PRA.
Asumsi-asumsi penting yang mendasari PRA:
1. Masyarakat dan perubahan sosial seharusnya dilihat dalam perspektif struktural, baik mikro (komunitas,wilayah) maupun makro (nasional,internasional).
2. Tujuan riset aksi partisipatif adalah perubahan sosial secara radikal yang dilakukan melalui mobilisasi masyarakat basis (akar rumput) sebagai pelaku transformasi sosial itu sendiri.
3. Perubahan sosial itu berarti perubahan atau pergeseran kekuasaan yang ada di masyarakat, dimana pihak yang paling lemah dan tertindas dikuatkan.
4. Artinya, kerangka kerjanya adalah konfrontasi oleh kelompok tertindas terhadap sistem dominasi, pendekatan ini cenderung berorientasi pada konflik.
5. Pengetahuan masyarakat (indegenous knowlede) adalah dasar kerja yang paling penting untuk menggeser kekuasaan kelompok elite/kuat yang mendominasi pengetahuan ilmiah, dan sekaligus sebagai basis dasar terjadinya perubahan sosial yang menyeluruh.
Prinsip Prinsip PRA
Proses pembelajaran sebenarnya terjadi dalam keseluruhan proses-proses pengembangan masyarakat. PRA sebagai metodologi pengembangan program partisipatif merupakan pendekatan pembelajaran bersama masyarakat. Sebagai sebuah metodologi, terdapat prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam memfasilitasi proses pembelajaran masyarakat.
Beberapa prinsip PRA yang dikembangkan oleh Robert Chambers, di Indonesia mengalami perkembangan disesuaikan dengan pengalaman penerapan PRA di lapangan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Prinsip mengutamakan yang terabaikan (keberpihakan). Bahwa di masyarakat ada kelompok masyarakat-biasanya merupakan bagian terbesar-yang terpinggirkan dan terabaikan oleh pembangunan. Kelompok masyarakat yang terabaikan ini harus diutamakan sebagai pemanfaat dan pemeran pembangunan. Keberpihakan ini ditujukan untuk membangun keseimbangan pola hubungan antara kelompok dominan dengan kelompok termarjinal dan miskin. Keberpihakan adalah kosa kata yang sangat ideologis digunakan sebagai idiom gerakkan pembebasan kaum tertindas dan perjuangan emansipasi manusia.
2. Prinsip pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan (empowerment) adalah upaya memperkuat kemampuan kelompok masyarakat yang lemah agar bisa mengontrol dan menentukan pilihan di dalam kehidupannya ( otonomi ). Dengan demikian, pemberdayaan berarti mengubah pola hubungan kekuasaan (power relationship) di antara kelompok dominan/berkuasa (powerfull) dan kelompok lemah (powerless) di masyarakat melalui peningkatan posisi kelompok masyarakat lemah. Pembedayaan hanya bisa dikatakan terjadi apabila perubahan pola hubungan kekuasaan itu terjadi.
3. Prinsip masyarakat sebagai pelaku, orang luar sebagai fasilitator: ”orang luar” harus menyadari perannya sebagai Fasilitator dan bukannya sebagai ”guru”, ”penyuluh”, ”instruktur” bahkan atasan atau penguasa. Pernyataan ini bukanlah kata-kata biasa atau hanya sekedar anjuran agar para agen pembangunan bersikap rendah hati dan mau belajar dari pengetahuan lokal. Prinsip ini merupakan suatu sikap ideologis anti dominasi: yaitu dominasi para agen pembangunan terhadap masyarakat marjinal. Dominasi orang luar juga merupakan penindasan, sengaja maupun tidak sengaja, karena dominasi akan melemahkan dan meminggirkan masyarakat.
4. Prinsip santai dan informal. Agen pembangunan dan pihak-pihak yang bekerja bersama masyarakat, sebaiknya mengembangkan suasana yang bersifat luwes, terbuka, tidak memaksa, akrab, dan informal. Barangkali bersikap santai dan informal ini seperti sekedar tips bagi para agen pembangunan, tetapi hal ini sebenarnya prinsipil karena menunjukkan sikap nilai orang luar: apakah datang ke masyarakat untuk melebur, menjadi bagian dari masyarakat dan bersam-sama memperjuangkan praktek-praktek yang mendominasi dan melemahkan masyarakat. Atau justru menjadi bagian dari pelaku dominasi.
5. Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan penghargaan dan pengembangan ilmu pengetahuan lokal (kearfian lokal). Prinsip saling belajar dan menghargai perbedaan: Prinsip ini muncul dari kritik terhadap dominasi ilmu pengetahuan oleh kalangan akademisi atau agen pembangunan. Orang luar (agen pembangunan, peneliti sosial) seharusnya membantu masyarakat untuk menyusun pengalaman dan pengetahuan lokal yang ada. Hal ini bukanlah berarti bahwa masayrakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah, atau anti pada pengetahuan dan teknologi baru (dari luar). Pengalaman dan pengetahuan masyarakat dan orang luar bisa saling melengkapi dan sama bernilainya selama masyarakat yang menentukan pilihan. Intinya: masyarakat didorong untuk mengenali lebih banyak pilihan, melakukan dialog dengan berbagai sumber pengetahuan, agar bisa melakukan analisa dan menentukan pilihan secara tepat.
6. Prinsip triangulasi. Belajar bukanlah hanya pertukaran informasi, pengalaman, dan ilmu pengetahuan, melainkan juga upaya untuk mendorong terbangunnya ilmu pengetahuan dan kearifan lokal. Tujuannya adalah untuk melawan hegemoni ilmu pengetahuan ’luar’ yang dalam jangka panjang bisa membunuh inovasi dan kearifan lokal, tetapi menuduh masyarakat sebagai statis, kehilangan inovasi, dan anti perubahan. Untuk membangun ilmu pengetahuan yang tepat guna kita bisa menggunakan triangulasi yang merupakan bentuk ”pemerikasaan dan pemerikasaan ulang” ( ”check and re-check). Triangulasi dilakukan antara lain melalui penganekaragaman perspektif orang luar (keragaman disiplin ilmu atau pengalaman), penganekaragaman perspektif orang dalam (keragaman latar belakang, golongan masyarakat, keragaman tempat, jenis kelamin), dan variasi metode/teknik pembelajaran yang digunakan.
7. Prinsip mengoptimalkan hasil. Belajar bersama masyarakat, bukanlah untuk belajar itu sendiri, melainkan untuk memperbaiki kehidupannya yang baik bagi kepentingan generasi sekarang maupun generasi selanjutnya. Penyusunan ilmu pengetahuan dan kearifan lokal bukanlah didasarkan pada obyektivitas ilmiah, karena tidak dimaksudkan untuk menyusun ilmu demi ilmu belaka.
Unsur-Unsur PRA
Tiga pilar (unsur), utama PRA menurut Robert Chambers, yaitu:
1. Sikap perilaku orang luar yang seharusnya berperan sebagai fasilitator, bukan mendominasi(seperti instruktur, penyuluh);
2. Metode-metode/teknik-teknik PRA, sebagai alat untuk mengubah pendekatan searah (tertutup) menjadi pendekatan multi-arah (terbuka), pendekatan individu menjadi pendekatan kelompok, teknik belajar verbal (misalnya ceramah) menjadi visual, dan teknik analisa dengan mengukur atau menghitung menjadi teknik membandingkan;
3. Berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, informasi, dan sumberdaya lain, di antara orang luar dan masyarakat.
GAMBAR. Tiga Unsur PRA
Sebagai program pemberdayaan masyarakat berbasis nilai, maka prinsip dasar program adalah “Pemberdayaan Manusia Seutuhnya” untuk menumbuhkan kepedulian, kerelawanan dan perilaku yang berpihak pada masyarakat miskin dengan dilandasi keikhlasan memberikan prioritas kepada warga yang lebih menderita, lebih miskin dan lebih parah kondisinya. Untuk itu, nilai dan prinsip yang melandasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui mitra pariwisata mandiri adalah:
a) Nilai-nilai luhur kemanusiaan (perilaku/moral), yakni jujur, ikhlas, peduli, serta dapat dipercaya ;
b) Nilai-nilai kemasyarakatan (modal sosial), yakni kebersamaan, solidaritas sosial, gotong royong, kekeluargaan serta kesatuan dalam keragaman;
c) Prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni pelestarian lingkungan, pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial (pendidikan, kesehatan, dll).
Agar terwujud tujuan yang hendak dicapai pemberdayaan masyarakat melalui mitra pariwisata mandiri, maka pendekatan yang akan dilakukan adalah:
1. Melembagakan pola pembangunan partisipatif yang berorientasi masyarakat miskin dan berkeadilan, melalui :
· Pembangunan lembaga kepemimpinan masyarakat (BKM) yang representatif, akuntabel, dan mampu menyuarakan kepentingan masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan;
· Perencanaan Partisipatif dalam menyusun program
2. Menyediakan stimulan BLM secara transparan untuk mendanai kegiatan penanggulangan kemiskinan yang mudah dilakukan oleh masyarakat dan membuka kesempatan kerja, melalui :
· Pembangunan sarana / prasarana lingkungan
· Peningkatan kapasitas sumber daya manusia
· Pengembangan ekonomi lokal dengan prasyarat tertentu
3. Memperkuat keberlanjutan program, dengan:
· Menumbuhkan rasa memiliki di kalangan masyarakat melalui proses penyadaran kritis, partisipatif, pengelolaan hasil-hasilnya, dan lainnya.
· Meningkatkan kemampuan perangkat pemerintah dalam perencanaan, penganggaran, dan pengembangan paska program.
· Meningkatkan efektifitas perencanaan dan penganggaran yang lebih berorientasi pada masyarakat miskin dan berkeadilan.
Partisipasi yang Memberdayakan
Dalam wacana pembangunan, mengapa terminologi partisipasi sangat melekat dengan terminologi pemberdayaan? Apakah pengembangan partisipasi berarti dengan sendirinya adalah proses pemberdayaan? Ataukah pengembangan partisipasi harus disertai dengan proses pemberdayaan? Dalam kenyataannya, pengembangan partisipasi tidak selalu berarti demokratisasi, karena adajenis-jenis partisipasi yang bersifat teknis/instrumental. Karena itu, partisipasi teknis tidak dapat dihubungkan dengan pemberdayaan karena proses pemberdayaan jelas tidak akan terjadi tanpa adanya agenda demokratisasi komunitas. Sebab pengembangan partisipasi, bisa saja dilakukan tanpa pemberdayaan. Partisipasi juga tidak selalu mendorong proses pemberdayaan. Sama seperti konsep partisipasi, konsep pemberdayaan dalam pembangunan seringkali disalahartikan (dikebiri pemaknaannya) menjadi teknis. Pemberdayaan diartikan sebagai peningkatan kemampuan (bahkan keterampilan masyarakat yang tidak dalam konteks perubahan komunitas dan demokratisasi.
Pemberdayaan, adalah proses yang sangat politis, karena berhubungan dengan upaya mengubah pola kekuasaan dan mereka bekerja dengan kerangka pemberdayaan berarti menentang kelompok pro-status quo yang pastinya tidak begitu saja bersedia melakukan perubahan (dalam arti power sharing). Proses pemberdayaan selalu memerlukan proses demokratisasi, atau sebaliknya proses demokratisasi selalu memerlukan proses pemberdayaan. Pengembangan demokrasi hanya akan berhasil jika masyarakat berhasil mengidentifikasi hal-hal yang tidak demokratis dan secara bertahap melakukan perubahan terhadapnya agar menjadi lebih demokratis. Hal ini membutuhkan kesadaran masyarakat mengenai adanya aktor-aktor yang sangat berkuasa (powerfull), di berbagai level yang berbeda, yang memiliki kepentingan dan kemungkinan besar akan menolak usaha-usaha perubahan tersebut.
1. Partisipasi dan Pemberdayaan
Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang berhubungan dengan ‘kekuasaan’ (power). Dalam tulisan Robert Chambers, kekuasaan (power) diartikan sebagai kontrol terhadap berbagai sumber kekuasaan, termasuk ilmu pengetahuan dan informasi. Karena itu, pemikiran penting Chambers mengenai pemberdayaan masyarakat adalah pengambilalihan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan informasi, sebagai salah satu sumber kekuasaan yang penting, dari orang luar (peneliti dan agen pembangunan) oleh masyarakat. Caranya dengan menggali dan menghargai pengetahuan dan teknologi lokal, serta menjadikan proses pembelajaran sebagai milik masyarakat, bukan milik orang luar. Selain itu, Chambers juga melihat isu kekuasaan dalam konteks pola hubungan antara kelompok dominan/elite masyarakat dengan kelompok ‘bawah’, antara negara-negara miskin (dalam skala komunitas, nasional maupun global).
Kekuasaan dalam konteks politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi dan mengatur kehidupan warga (rakyat). Kekuasaan politik harus dibatasi dengan membangun sistem demokrasi. Karena itu, salah satu prinsip dasar demokrasi adalah tersedianya ruang partisipasi warga yang mampu mengontrol penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin yang diberi mandat oleh warga. Jadi, kekuasaan sebenarnya adalah milik rakyat, tetapi yang terjadi kemudian adalahpengambilalihan kekuasaan oleh elite politik karena belum/tidak berfungsinya sistem pemerintahan yang mungkin ditegakkannya kedaulatan rakyat. Hal ini terjadi karena rakyat belum mampu melindungi kekuasaannya. Sedangkan, pemimpin politik, cenderung untuk tidak bersedia membatasi kekuasaannya, bahkan lebih suka memperbesar kekuasaan tersebut.
2. Kekuasaan atas kesempatan dan pilihan pribadi
Di negara berkembang seperti Indonesia, sebagian besar orang hanya memiliki sedikit kekuasaan untuk menentukan kehidupan mereka sendiri: misalnya untuk membuat keputusan tentang gaya hidup, dimana akan bertempat tinggal, dan jenis pekerjaannya. Struktur masyarakat seringkali membatasi pilihan pribadi seseorang, misalnya , struktur patriarki dan nilai-nilai gender seringkali membatasi kekuasaan bagi perempuan dalam membuat pilihan sendiri (pendidikan, kesehatan, pekerjaan, bahkan jodohnya) dan kelompok etnis mayoritas bekerja untuk mengurangi kekuasaan etnis minoritas. Begitu juga norma-noma dan nilai-nilai budaya, seringkali membatasi kekuasaan seseorang atas pilihan hidupnya, berdasarkan pembedaan kelas, rasial, agama, dan gender. Salah satu konsekuensi dari kemiskinan yang utama dalah tersedianya hanya sedikit pilihan atau kekuasaan untuk membuat keputusan tentang kehidupan mereka sendiri. Jenis pekerjaan, pelayanan kesehatan,pendidikan, kehidupan pribadi, hampir tidak tersedia banyak pilihan.
Pemerintah mengatur banyak hal (agama, orientasi seksual yang diijinkan, dokter menentukan pengobatan tanpa memberi penjelasan atau menanyakan pendapat pasien, dsb.) Agenda pemberdayaan seharusnya juga bekerja untuk mengembangkan kemampuan individu dalam menentukan berbagai pilihan pribadi.
3. Pembedayaan Sebagai Upaya Power Sharing
Adanya segelintir orang yang memiliki akses dan kontrol besar terhadap sumber-sumber kekuasaan, dibandingkan orang yang lain merupakan struktur ketimpangan, sedangkan orang yang dirugikan disebut sebagai kelompok terpinggirkan atau kelompok lemah. Pemberdayaan adalah upaya yang ditujukan untuk orang atau sekelompok orang yang mempunyai akses dan kontrol yang terbatas terhadap berbagai sumber kekuasaan. Pemberdayaan adalah upaya yang ditujukan untuk orang atau sekelompok orang yang terpinggirkan. Tujuan pembedayaan adalah untuk mengembangkan struktur masyarakat yang seimbang dan adil.
Di tingkat negara, agenda besar pemberdayaan berarti upaya untuk mengembalikan pola hubungan kekuasaan antara rakyat dengan elite politik ke dalam kerangka demokrasi. Masyarakat yang lemah, tidak mampu melindungi kekuasaannya, bahkan tidak memiliki kesadaran kritis terhadap hak-hak dan kedaulatannya, disebut masyarakat yang tidak berdaya. Sedangkan negara, atau dalam hal ini elite politik yang memiliki kekuasaan tanpa terbatas, disebut sebagai pihak yang sangat berkuasa. Sementara, di tingkat komunitas, masyarakat miskin yang marjinal adalah kelompok yang tidak berdaya, sedangkan kelompok elite yang dominan adalah kelompok yang sangat berkuasa.
Menurut Chambers, pembangunan adalah upaya untuk mengembangkan tatanan hidup yang lebih baik (komunitas,nasional, maupun global), yang berarti adalah berbagi kekuasaan (power sharing) untuk mengembangkan keseimbangan. Pemberdayaan adalah upaya untuk mewujudkan power sharing, dengan cara memperbesar daya (empowerment) kepada pihak yang tidak/kurang berdaya. Dan mengurangi daya pihak yang terlalu berkuasa.
Pengertian Pemberdayaan di Tingkat Komunitas Lokal
1. Proses pengembangan hubungan yang lebih setara, adil, dan tanpa dominasi di suatu komunitas. Pemberdayaan memerlukan proses penyadaran kritis masyarakat tentang hak-hak dan kewajibannya. Pemberdayaan juga memerlukan proses pengembangan kepemimpinan lokal yang egaliter dan memiliki legitimasi pada rakyatnya.
2. Proses untuk memberi daya/kekuasaan (power) kepada pihak yang lemah, dan mengurangi kekuasaan (disempower) kepada pihak yang terlalu berkuasa sehingga terjadi keseimbangan.
3. Membutuhkan pembagian kekuasaan (power sharing) antara kepemimpinan lokal dengan masyarakat secara adil. Pembagian kekuasaan yang adil berarti adalah penyelenggaraan sistem demokrasi di tataran komunitas (community democracy). Paling tidak itu yang saat ini dipercaya oleh gerakan demokrasi di seluruh dunia.
4. Partisipasi yang Memberdayakan
Dalam wacana pembangunan, mengapa terminologi partisipasi sangat melekat dengan terminologi pemberdayaan? Apakah pengembangan partisipasi berarti dengan sendirinya adalah proses pemberdayaan? Ataukah pengembangan partisipasi harus disertai dengan proses pemberdayaan? Dalam kenyataannya, pengembangan partisipasi tidak selalu demokratisasi, karena ada jenis-jenis partisipasi yang bersifat teknis/instrumental. Karena itu, partisipasi teknis tidak dapat dihubungkan dengan pemberdayaan karena proses pemberdayaan jelas tidak akan terjadi tanpa adanya agenda demokratisasi komunitas. Sebab, pengembangan partisipasi bisa saja dijalankan tanpa pemberdayaan. Partisipasi juga tidak selalu mendorong proses pemberdayaan. Sama seperti konsep partisipasi, konsep pemberdayaan seringkali dikebiri pemaknaannya menjadi teknis.
Pembedayaan seringkali diartikan sebagai peningkatan kemampuan (bahkan keterampilan) masyarakat yang tidak dalam konteks perubahan komunitas dan demokratisasi. Pemberdayaan adalah proses yang sangat politis, karena berhubungan dengan upaya mengubah pola kekuasaan dan mereka yang bekerja dengan kerangka pemberdayaan berarti menantang kelompok pro status quo yang pastinya tidak begitu saja bersedia melakukan perubahan (dalam arti power sharing). Proses pemberdayaan selalu memerlukan proses demokratisasi, atau sebaliknya, proses demokratisasi selalu memerlukan proses pemberdayaan. Pengembangan demokrasi hanya akan berhasil jika masyarakat berhasil mengidentifikasi hal-hal yang tidak bersifat demokratis dan secara bertahap melakukan perubahan terhadapnya agar menjadi lebih demokratis.
Hal ini membutuhkan kesadaran masyarakat mengenai adanya aktor-aktor yang sangat berkuasa, di berbagai level yang berbeda, yang memiliki kepentingan dan kemungkinan besar akan menolak usaha-usaha perubahan tersebut.
B. PEMETAAN SWADAYA
Pada pelaksanaan PPLBK ini dikembangkan pendekatan yang lebih memungkinkan masyarakat dapat dilibatkan secara berarti dalam pembelajaran kajian tentang masalah dan potensi melalui suatu pendekatan partisipatif yang dinamakan Pemetaan Swadaya. Fokus utama dari pendekatan partisipatif Pemetaan Swadaya ini adalah masyarakat belajar mengidentifikasi permasalahan dan potensi yang dimilikinya secara bersama, dengan demikian hasil dari Pemetaan Swadaya ini masyarakat dapat melihat gambaran kondisi permasalahan dan potensi kelurahan/desanya secara keseluruhan. Pemetaan swadaya merupakan proses identifikasi masalah (kebutuhan) yang saling terkait dengan refleksi kemiskinan sehingga terjadi refleksi –kajian-refleksi. Pengertian swadaya adalah bahwa semua proses penggalian informasi, analisa dan perumusan masalah dilakukan oleh masyarakat. Masyarakatlah yang menjadi peneliti bagi dirinya sendiri melalui diskusi-diskusi warga, orang luar hanya sebagai fasilitator. Masyarakatlah yang menjadi aktor utama pembangunan sesuai dengan pembangunan partisipasif. Masyarakat penting untuk meneliti sendiri sebagai wujud tanggungjawab sosial sebagai manusia, penghargaan terhadap manusia yang merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri, kesempatan untuk saling berbagi pengetahuan dan infromasi serta meminimalkan bias-bias dalam penelitian karena orang luar dalam meneliti seringkali melihat dan mengkaji berdasarkan sudut pandangnya yang belum tentu sesuai dengan sudut pandang masyarakat. Pembelajaran nilai dalam pemetaan swadaya adalah diharapkan melalui kegiatan yang dilakukan bersama maka akan tumbuh saling menghargai, saling mengerti, saling membagi pengetahuan dan informasi dan saling peduli terhadap permasalahan pihak lain.
Adapun kegiatan dalam pemetaan swadaya adalah :
1. Menggali infromasi, kondisi nyata dari masalah-masalah yang diidentifikasi bersama.
2. Mengkaji, proses analisa kritis terhadap informasi dan fakta yang sudah didapatkan.
3. Merumuskan masalah, masalah yang sudah didapat dikelompokkan dan dianalisa hubungan sebab akibatnya.
Substansi Pesan Pemetaan Swadaya adalah bahwa Pemetaan Swadaya adalah suatu pendekatan parisipatif yang dilakukan masyarakat untuk menilai serta merumuskan sendiri berbagai persoalan yang dihadapi dan potensi yang dimilliki sehingga hasil dari identifikasi masalah, masyarakat dapat menentukan sendiri kebutuhan nyata (riil) untuk menanggulangi berbagai persoalan tersebut utamanya kemiskinan, dengan berbasis pada kekayaan informasi kualitatif yang bersifat lokal. Pemetaan Swadaya sebagai pembelajaran dalam menggali persoalan, potensi dan kebutuhan masyarakat, memiliki beberapa substansi pesan yang penting diketahui sebagai berikut :
1. Masyarakat belajar memahami masalah-masalah kemiskinan dan potensi, baik sumberdaya manusia maupun kemampuan ekonomis, serta kemungkinan perkembangannya secara utuh (Social Mapping);
2. Masyarakat belajar menyusun gambaran kondisi masyarakat dan wilayahnya saat ini serta gambaran yang diharapkan
3. Masyarakat belajar melihat peluang untuk dapat menggali potensi dari masyarakat sendiri dan memanfaatkan fasilitas yang tersedia untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan dan kemiskinan dalam kelurahan/desa-nya;
d. Masyarakat belajar untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya daripada tergantung pada bantuan atau sumber daya dari luar;
d. Masyarakat belajar untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya daripada tergantung pada bantuan atau sumber daya dari luar;
Adapun Tujuan dari pemetaan swadaya ini adalah :
1. Mendorong masyarakat dalam membangun kebersamaan diantara mereka
2. Meningkatkan kesadaran kritis masyarakat akan kondisi dan persoalan yang mereka hadapi;
3. Meningkatkan kesadaran kritis masyarakat dalam melakukan proses identifikasi masalah, potensi dan peluang serta tantangan dan hambatan di dalam lingkungannya;
4. Mendorong kesadaran kritis masyarakat bahwa penyelesaian persoalan kemiskinan harus mengintegrasikan potensi semua pihak dan bertumpu pada potensi diri daripada tergantung pada bantuan luar;
Pembelajaran prinsip dan nilai P2KP oleh masyarakat pada pelaksanaan kegiatan pemetaan masalah kemiskinan dan potensi sumber masyarakat;
Menumbuhkan rasa tanggung jawab individu dan masyarakat untuk menyadari tanggung jawab dirinya dalam konteks permasalahan riil yang terjadi di wilayahnya;
Pembelajaran prinsip dan nilai P2KP oleh masyarakat pada pelaksanaan kegiatan pemetaan masalah kemiskinan dan potensi sumber masyarakat;
Menumbuhkan rasa tanggung jawab individu dan masyarakat untuk menyadari tanggung jawab dirinya dalam konteks permasalahan riil yang terjadi di wilayahnya;
5. Meningkatkan kepedulian dan kerelawanan atas kesadaran kritis terhadap kondisi riil di wilayahnya.
Penanggungjawab dan Pelaksanaan kegiatan pemetaan swadaya ini adalah relawan yang tergabung dalam Tim Pemandu pemetaan swadaya, yang difasilitasi oleh Tim Fasilitator PNPM MP dan Siklus Pemetaan Swadaya merupakan bagian dari pembelajaran dalam siklus PNPM MP, yang pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat setelah proses kegiatan siklus FGD Refleksi Kemiskinan.
Secara detail hasil yang diharapkan tersebut dapat dicermati dari beberapa indikasi sebagaiberikut berikut :
1. Terjadinya kesadaran kritis masyarakat terhadap permasalahan dan kemampuan untuk menanggulangi masalah bersama;
2. Terjadinya kesadaran terhadap kebutuhan adanya kelembagaan yang representative;
3. Terjadinya kesadaran terhadap kriteria kepemimpinan masyarakat yang lebih benar;
4. Tumbuhnya partisipasi masyarakat secara murni, kepedulian sosial, serta potensi swadaya.
5. Pengukuran terhadap hasil yang diharapkan sebagaimana indikasi-indikasi di atas dilakukan melalui mekanisme evaluasi partisipatif yang dilakukan oleh Tim Pemetaan Swadaya yang berperan sebagai pengamat proses.